Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi di Indonesia yang dikenal dengan keragaman budayanya. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi D.I. Yogyakarta, pada tahun 2025 diperkirakan terdapat 4.179.333 jiwa penduduk di D.I. Yogyakarta, dengan lebih dari 90% di antaranya bersuku Jawa. Sebagai “Kota Pelajar”, Yogyakarta memiliki berbagai perguruan tinggi ternama yang menarik mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia hingga mancanegara. Kehadiran mahasiswa dari luar daerah tersebut tidak jarang membentuk sebuah komunitas yang semakin memperkaya keberagaman di Yogyakarta dan menjadikannya sebagai tempat di mana perbedaan suku, agama, dan budaya bertemu serta berkomunikasi satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun dikenal
sebagai provinsi yang ramah bagi pendatang, kenyataannya masih ada sebagian
orang yang merasa tidak nyaman tinggal di Yogyakarta karena sering menjadi
sasaran tindakan rasisme, baik dari warga lokal maupun dari sesama pendatang.
Banyak di antara mereka yang mengalami perlakuan diskriminatif, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Stereotip negatif terhadap suku tertentu
sering kali membuat para pendatang sulit untuk berbaur dan berkomunikasi dengan
masyarakat sekitar.
Tindakan rasisme terhadap mahasiswa di Yogyakarta pernah dirasakan oleh D (21). Sebagai mahasiswa yang berasal dari provinsi dengan minoritas muslim di Indonesia, ia beberapa kali mendapatkan perlakuan dan pertanyaan yang kurang menyenangkan.
“Kalau yang paling bikin aku kesal sih ketika ada yang nanya, ‘Di sana kan mayoritas non-Muslim. Kok kamu bisa jadi Muslim sih?’ Selain itu, meskipun mereka tahu aku seorang Muslim, masih ada juga yang nanya, ‘Di sana kalau makan, masakannya campur babi, ya?’ Aku jadi bertanya-tanya, ‘Masa iya mereka bisa menanyakan hal-hal seperti itu?’” ungkapnya.
Selain stereotip berdasarkan agama, mahasiswa dari Indonesia Timur juga sering mendapatkan diskriminasi terkait masalah fisik dan kebiasaan sehari-hari. Banyak orang yang menganggap bahwa masyarakat dari Indonesia Timur kurang menjaga kebersihan hanya karena penampilannya berbeda dari mayoritas penduduk di Jawa.
“Beberapa orang masih terkejut ketika mengetahui rambutku lurus. Mereka beranggapan bahwa orang dari Indonesia Timur biasanya memiliki rambut yang nggak lurus,” tambahnya.
Tidak hanya itu, ia juga kerap menjadi bahan tertawaan karena cara bicaranya yang khas.
“Dulu ada yang dengar ketika aku lagi teleponan sama
mamaku. Terus mereka tanya-tanya dan minta diajarkan bahasa daerahku. Saat aku
bicara dalam bahasa daerah, mereka malah tertawa seperti mengejek,” sambungnya.
Cerita lain datang dari M (19). Sebagai mahasiswa yang berasal dari salah satu provinsi di Indonesia Barat, ia beberapa kali mendapatkan rasisme, terutama karena logat bicaranya yang khas.
“Sebenarnya aku sudah terbiasa sih mendapatkan tindakan rasisme selama di Yogyakarta. Seringnya yang rasis itu sesama mahasiswa dari luar. Mungkin waktu masih di daerah asalnya mereka nggak terbiasa berinteraksi dengan suku lain, jadi pas datang ke sini mereka kaget dengan karakter dan kebiasaan orang lain sehingga saling mengejek satu sama lain. Baru-baru ini, sekitar akhir Februari, aku sempat mengalami perlakuan yang kurang menyenangkan. Saat itu aku lagi beli minuman di sebuah warung, terus ada orang yang menirukan cara bicaraku berulang kali. Sampai aku pergi dari warung itu pun dia masih terus menirukannya,” ungkapnya.
Selain ejekan terhadap logatnya, ia juga kerap mendapat stereotip negatif terkait asal daerahnya.
“Karena di daerahku memang banyak organisasi masyarakat yang sering terlibat
kericuhan dan juga banyak muncul aliran keagamaan yang dianggap menyimpang, banyak
orang yang mengira aku adalah bagian dari mereka. Meskipun kadang anggapan itu
cuma bercanda, tapi tetap saja rasanya kurang nyaman,” jelasnya.
Dua mahasiswa asal Sulawesi, A (19) dan S (19) membagikan pengalaman mereka selama tinggal di Yogyakarta. Mereka sering merasa tidak dianggap oleh teman-temannya yang asyik mengobrol dalam bahasa daerah.
“Ini sering terjadi ketika sedang kumpul. Biasanya mereka asyik berdiskusi pakai bahasa daerah, padahal tidak semua orang yang ada di situ memahami bahasa tersebut. Meskipun sudah diingatkan untuk menggunakan bahasa Indonesia, mereka kadang tetap melanjutkan diskusi memakai bahasa daerah. Mungkin mereka kurang terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, tapi tolonglah hargai kami yang berasal dari daerah lain” ungkap A (19).
Selain kendala bahasa, mereka juga kerap menerima ejekan terkait asal daerah mereka. Beberapa orang menganggap Sulawesi hanya dipenuhi hutan dan merupakan daerah yang tertinggal.
“Meskipun pembangunan di Sulawesi tidak seperti di Jawa, jangan menganggap kami sebagai orang yang tidak tahu apa-apa. Banyak pertanyaan-pertanyaan tidak masuk akal yang ditanyakan pada kami. Contohnya, ‘Di sana ada pusat perbelanjaan, gak?’, ‘Di sana ada bandara, gak?’, ‘Kalau mau pergi transportasinya pakai apa? Sudah ada kendaraan bermesin belum? Atau masih pakai kendaraan tradisional?’, dan lain-lain. Bagi mereka mungkin pertanyaan tersebut hanya bercanda, tetapi bagi kami hal itu merendahkan jika terus-menerus ditanyakan,” tambah S (19).
Tindakan rasisme
terhadap suku-suku tertentu sering kali disebabkan oleh anggapan bahwa suku
mereka lebih kuat dan berkuasa, sehingga merasa berhak menindas suku lain yang
dianggap berada di bawahnya. Kebiasaan masyarakat yang hanya berinteraksi
dengan sesamanya dan kurang berinteraksi dengan suku lain juga dapat memicu
terjadinya rasisme. Orang yang jarang berinteraksi dengan suku yang berbeda
cenderung menganggap karakter dan kebiasaan suku tersebut sebagai sesuatu yang
aneh, yang kemudian berkembang menjadi sikap merendahkan atau mengejek. Stereotip
buruk mengenai suatu ras atau suku tertentu yang masih dipercaya hingga kini
merupakan penyebab utama terjadinya rasisme. Misalnya, anggapan bahwa orang
yang berkulit gelap adalah orang jahat. Dalam film-film lama, orang berkulit gelap
sering mendapat peran sebagai perampok, pencuri, pembunuh, atau pelaku tindak
kejahatan lainnya. Hal tersebut kemudian tertanam dalam pikiran masyarakat
bahwa orang berkulit gelap cenderung jahat, padahal kenyataannya tidak demikian.
Di Indonesia, banyak stereotip negatif yang berkembang terhadap berbagai suku.
Misalnya, suku Batak sering dianggap galak dan kasar hanya karena nada bicara
mereka yang tinggi. Suku Minang kerap dipandang materialistis karena banyak
yang merantau untuk berdagang. Sementara itu, suku Sunda sering dianggap tidak
bisa serius karena pembawaannya yang santai. Stereotip semacam ini dapat
menimbulkan kesalahpahaman dan diskriminasi yang seharusnya tidak terjadi.
Untuk mengurangi
tindakan rasisme dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok tertentu,
diperlukan adanya kesadaran untuk saling menghargai perbedaan. Indonesia
merupakan negara dengan keberagaman suku bangsa yang harus dihargai dan
dihormati oleh semua pihak. Seluruh masyarakat harus bisa membuka diri terhadap
keberagaman agar tidak ada lagi anggapan bahwa satu suku lebih unggul dan lebih
berkuasa dari suku lain, serta untuk menghilangkan stereotip negatif terhadap
suku, agama, atau ras tertentu. Pendidikan sejak dini mempunyai peran penting
dalam menanamkan nilai-nilai toleransi. Anak-anak perlu diajarkan bahwa perbedaan
adalah bagian dari kehidupan. Selain itu, pemerintah juga perlu menerapkan kebijakan
anti diskriminasi yang efektif untuk melindungi hak-hak kelompok minoritas di
daerah mayoritas. Peran media juga tidak kalah penting dalam mencegah perilaku
rasisme dan diskriminasi. Media harus mengedukasi masyarakat melalui tayangan
berkualitas yang objektif dan tidak merendahkan kelompok tertentu, sehingga
dapat membangun pemahaman yang lebih baik tentang keberagaman serta memperkuat
rasa kesatuan dalam masyarakat.
Sebagai provinsi
yang sering dikunjungi oleh orang-orang dari luar, D.I. Yogyakarta sudah
semestinya menjadi contoh bagi daerah lain dalam menciptakan lingkungan yang
bebas dari rasisme dan diskriminasi. Namun, upaya tersebut sering kali
terhambat karena adanya oknum yang kurang teredukasi, sehingga semakin
memperparah stereotip negatif terhadap kelompok tertentu. Tindakan rasisme
adalah masalah yang harus segera diselesaikan melalui kesadaran bersama, penegakan
aturan yang tegas, serta upaya nyata dari pemerintah dan masyarakat. Dengan
langkah-langkah tersebut, Yogyakarta dapat menjadi tempat yang aman dan nyaman
bagi semua, baik bagi warga lokal maupun pendatang.
Penulis: M. Azky Fuadi Z A
Komentar
Posting Komentar